Sabtu, 15 Desember 2012

Sebuah Kubus di Sebuah Kota





Kepada
Sepatu yang berjajar rapi di depan pintu

Selamat petang.

Aku masih terbalut letih ketika jarum mesin waktu menunjuk angka lima. Beraroma peluh dan bergaya lelah, mengemudikan kendaraan dengan separuh pikir menerawang. Separuh saja, jadi masih ada ruang untuk berkonsentrasi pada jalanan.

Cakrawala sedang menari dengan lentik kala itu. Elok gemulai dengan tahta pada jemari: cincin permata bersinar emas, dan mengayunkan selendang biru keunguan. Senja yang selalu menghangatkan. Dari balik kemudi, aku menjadi tenang. Ah, pun dengan yang lain: yang masih di balik kubikal kantor, yang masih terjebak macet, yang masih menahan emosi gegara satu dua hal. Semua, pada waktunya akan mencapai ketenangan, luluh terpesona menatap indahnya cakrawala yang terpoles senja.

Lampu lalu lintas berubah merah. Pedal rem terinjak sempurna, memperlambat kecepatan hingga tiba pada keadaan diam. Sempurna diam, meninggalkan deru mesin yang samar dan perlahan berubah menjadi jelas. 

Masih 117 detik. 

Aku mengedarkan pandang. Ke kiri: di belakang kemudi mobil milyaran juta, seorang wanita terbalut busana kerja. Busana kamar. Aku melengos, sesuatu yang tabu telah berubah menjadi madu: manis dan dapat dijadikan bisnis. Ke kanan: pemuda yang bertato daki memainkan gitar serampangan. Sepanjang keluar suara, sepanjang dapat belas kasihan. Aku menurunkan kaca jendela, menjatuhkan sekeping logam bernilai satu sedot air teh.

Masih 73 detik.

Di atas trotoar, ibu penjual koran meletakkan tumpukan koran yang sudah basi. Siapa pula mau membeli? Petang begini, koneksi internet juga tidak mati. Dua kanak-kanak berlari mendekat, berteriak entah apa. Mengacungkan gelas abal keluaran restoran cepat saji terkemuka. Aku memahami, mungkin hasil bekerja.

Masih 30 detik.

Dua kanak-kanak tadi kini berbaring dengan akur. Kepala berbantal tumpukan koran, dengan trotoar menumpu badan. Gurat lelah terlukis di sekitar mata sayu yang tengah terpejam tapi berkedut-kedut ringan. Sang Ibu duduk bersandar pada tiang lampu lalu lintas, membelai rambut keduanya, yang meski dari jauh pun aku tahu pasti, tidak lembut pun harum. 

Lampu lalu lintas berubah hijau. Seperti warna apel malang yang siang tadi aku makan sebagai ganti karbohidrat. Hijau yang berbeda, sih. Pedal gas diinjak, kemudi digerakkan, dan roda mulai berputar. Meniti aspal jalanan yang nyaris sama seperti kehidupan, keras. Atau mungkin nyaris sama dengan kehidupan kanak-kanak tadi? Nyaris sama dengan alas tidur mereka tadi? 

Separuh pikiranku kembali menerawang. Menyesali perilaku kehidupan yang teramat tidak adil. Atau justru terlalu adil? Sehingga apa yang mereka dapatkan sekarang, sesuai apa yang telah mereka lakukan sebelumnya? Kemudian aku bersimpati, menempatkan diri pada posisi mereka. Menyedihkan. Lelah, dan mereka tidak punya tempat untuk pulang. Pulang dalam artian kembali kepada sesuatu yang membuatmu nyaman. Kampung halaman, misalnya. Tidak punya tempat untuk kembali, lantas membuang penat dan menggantinya dengan nikmat. Tidak ada, tidak punya. Yang ada hanya lelah, lelah, dan semakin lelah. Tidak ada nikmat, yang ada selalu penat.

Waktu seolah menerbangkanku, tanpa terasa aku semakin dekat dengan rumah. Ya, rumah  yang sesungguhnya. Rumah tempatku selalu kembali, rumah dimana titik kenyamananku dapat aku temukan. Rumah. Rumah yang tak dimiliki kanak-kanak tadi. Kembali, ku hela nafas berat. Seberat timbangan di sisi kanan, yang membuatnya tidak seimbang.

Kendaraanku telah terparkir. Aku tinggalkan semua pikiran, semua emosi, dan juga lelah di dalamnya. Tidak ku izinkan mereka ikut bersamaku, menghirup dan mengganggu romansa tenang dan nyaman di dalam kubus tempat tinggalku. Aku menutup pintu kendaraan, pertanda mengurung mereka di dalam sana, kemudian menyeret langkah ke hadapan pintu rumah.

Kala itu, aku terdiam. Bibir belum sempat mengalun salam, pun dengan tangan yang belum sempat memberi ketuk pada pintu. Renungan singkat, sesaat sebelum kaki menginjak rumah.

Barisan sepatu tertata rapi di depan pintu. Belum dipindahkan masuk oleh empunya, ternyata. Ada lima pasang sepatu disana. Satu pasang sepatu tentara, satu pasang selop yang seharusnya berjodoh kebaya, dan tiga sisanya ialah pasangan sepatu karet. Dua dari tiga berukuran lebih kecil dan lebih berwarna, menjadi amat berbeda dengan satu yang lebih besar dan berwarna monoton: hitam.

Tersadar aku, oleh gelak tawa dari dalam rumah. Para empu dari sepatu-sepatu ini, asyik bercanda, mencipta ria: Ayahku; Ibuku; Istriku; dan dua buah hatiku.

Tuhan, jika waktuku mati adalah hari ini, izinkan aku mendekap mereka. Lebih dahulu ikut bersua dalam ria. Lebih dahulu hangat oleh harmoni yang tercipta.  

Tuhan, aku menyadari. Sesuatu yang paling indah seusai bekerja, bukanlah seamplop penuh uang sebagai bayar. Namun, keberadaan rumah sebagai tempatmu berpulang, ialah indah yang sejati. Ialah indah yang bermakna. Ialah bayar yang paling impas dan berharga.

Aku memantapkan hati. Menunduk, menjinjing sepatu-sepatu itu masuk dengan amat kerepotan. Lalu, menyapa keluarga dengan tawa, larut dalam ria.

Tidak serepot mencari posisi nyaman ketika berbaring di atas trotoar, dan tidak sesulit mereka mencari tempat untuk berpulang.


Terimakasih untuk peranmu dalam menyadarkanku,
Aku selalu memiliki tempat yang nyaman untuk berpulang.

Tertanda,
Seseorang yang akan selalu pulang. Kembali.



Hidup yang tidak adil, atau kamu yang tidak adil dalam memperlakukan kehidupan?














Tidak ada komentar:

Posting Komentar