Rabu, 12 Desember 2012

Kenangan Ampas Kopi



Secangkir kopi menemani malamku yang sendu. Bergelut dengan kenangan yang tiba-tiba meronta keluar. Mati-matian aku menahan diri supaya tiada memori lama yang terputar kembali. Supaya tiada ukiran luka pada hati.

Langit sekelam perasaanku malam ini. Bulan hanya terlihat tipis, seujung kuku saja. Bintang, tidak ada. Mungkin satu di ujung sana, itu pun kalau aku tidak salah mengartikan kelip lampu sebagai bintang. Langit benar-benar kosong. Hampa tak berisi, bahkan serabut awan saja tak terlihat.

Sekelam perasaanku, tapi tak seramai pikiranku. Aku seperti terasuki jutaan watt listrik, membuat berbagai macam pikiran berlompatan di sini. Otak. Kalau saja masih bisa dibilang otak karena rasanya sudah tiada lagi akal pikiran yang bisa diciptakan sebagaimana fungsi otak sesungguhnya, untuk saat ini.

Kepul dari kopiku kian memudar. Menandakan suhunya yang perlahan mulai turun. Aku menyeruput sedikit, lalu meletakkannya tanpa gairah. Ah ya, bahkan aku lupa bagaimana rasanya bergairah. Bernafsu. Semenjak.. kamu hilang.

Tidak. Sebenarnya aku tahu kamu tidak hilang. Kamu masih ada. Entah di belahan bumi bagian mana, yang jelas pasti ada. Hanya saja aku terlalu buta dan takut untuk mau melihat dimana kamu berada.

Kini, kopi hitamku semakin berbayang kamu. Langit yang tadinya kosong, kini bergambar wajah bulat dengan mata sayu yang selalu ku rindu. Desah suara dan nafasmu yang selalu berirama, seperti larut bersama tiupan angin. Sengaja dibawakan sampai ke depan gendang telinga. Dan aku makin tak berdaya. Kenangan-kenangan lama telah tercabut dengan paksa. Membangkitkan hormon rindu pun pilu. 

Meremas rambut pun  tiada guna. Aku telah terasuki. Kenangan. Masa lalu. Kisah. Bersama. Aku. Kamu. Pergi. Dilupakan. Alasan. Sendiri. Pilu. Mengenaskan. Rindu. Pertemuan. Waktu. Astaga! Aku benar-benar mual, pusing. Aku butuh udara. Dan aku butuh pergi, lari, dan kabur dari kenangan masa lalu yang kini kembali.

Cangkir kopi berderak sebagai efek pukulanku kepada meja. Aku dikalahkan, dijebak. Sialan! Kenangan masa lalu memang teramat licik. Pandai sekali memanfaatkan kelalaian, menjadikan kebahagiaan sebagai sarana penyiksaan. Aku kalah, batinku dengan bibir bergetar. Meraih cangkir kopi dengan gusar, lantas meneguknya hingga tandas tak bersisa, meski tetap tanpa gairah.

Satu, dua, delapan. Aku menghitung dalam hati. Menghirup oksigen sebanyak yang ku mampu, sebelum rongga dadaku kembali terhimpit karena kenangan yang kembali. Sebelum berbagai kenangan terpecah dan membanjiri hati, lagi.

Sejujurnya, tidak ada yang salah dari kenangan, pun dengan mengenang. Kenangan diciptakan supaya kita mengerti bagaimana caranya menyikapi kehidupan. Dengan tujuan yang teramat mulia, agar kita mendapat pemahaman baru dari tiap kenangan yang terlewat.

Aku menyeka peluh yang mulai membiji jagung di atas dahi, lantas menariki hidung entah supaya apa. Dan kulanjutkan kembali perenungan yang terhenti, mengenai kenangan.

Kenangan sama sekali bukan makhluk jahat yang tak berbudi. Dia tidak pernah, sekalipun, membuat jeratan ataupun perangkap yang sering dikoar-koar manusia. Tetapi, manusia-manusia sendirilah yang menjadikan dirinya terperangkap. Dengan mencipta sesuatu semu menjadi seolah nyata. Dengan menjadikan kebenaran sebagai kesalahan.

Seseorang pernah berkata kepadaku:
Seperti belajar menulis, saya mungkin sudah lupa bagaimana cara saya belajar menulis. Namun, bukan berarti saya melupakan bagaimana caranya menulis. Kita bisa lupakan hal-hal, tetapi bukan berarti kita melupakan pelajaran dari itu.

Mataku menyorot pilu pada gumpal ampas kopi di dalam cangkir yang tak lagi berair. Aku tahu benar bagaimana rasanya menjadi gumpal ampas hitam pekat itu. Setelah kau dianggap (karena menjadi sesuatu yang dapat membuat air tawar terasa lebih nikmat) kemudian kau dijadikan onggokan (karena tak lagi bisa memberi manfaat). Ya, seperti itulah kenanganku. Menjadi gumpal ampas kopi pada cangkir seorang bidadari bumi. Tak lagi dicari, tak lagi diminta, dan tak sekalipun diberi penjelasan mengapa aku ditinggal. Karena aku memang sudah tahu alasannya, meski hanya meraba.

Dan malam menutup hariku, dengan setitik awan yang tiba-tiba muncul dan membelah. Memisah. Cangkir kopi seolah berada di antaranya, dari sudut pandangku yang kini terpekur di kursi. Mengenang lagi, tapi kini telah merelakan.

Kenangan bukanlah sesuatu untuk dikenang dan mengekang, tetapi kenangan dicipta untuk menjadi pelajaran dan pemahaman.


Ditulis dari sudut pandang lelaki, 
meski aku bukan seorang lelaki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar