Minggu, 16 Desember 2012

Tentang Sebuah Rasa



Pernahkah engkau jatuh cinta? 

Atau, paling tidak, pernahkah engkau melihat insan yang sedang jatuh cinta? 

Kau tahu bagaimana perasaannya? Dan tahukah engkau bagaimana tingkah lakunya? Normalnya manusia, perasaan mereka akan menjadi sangat sensitif: terhadap rasa senang, sedih, ataupun kesal. Normalnya manusia, tingkah laku mereka menjadi brutal: ketika senang, sedih, ataupun kesal.

___________________________________________________________________________________


Pernahkah engkau merasakan ratusan kupu-kupu mendesak perutmu ketika sebaris nama tercantum di layar maya: entah telepon genggam, komputer, tablet, atau apapun itu? Sejatinya, itu bukan kupu-kupu. Itu dopamin ekstra yang diproduksi secara suka rela oleh tubuhmu, sesuatu yang membuatmu akan merasa senang berlebihan ketika jatuh cinta.

Pernahkah engkau mengulas senyum, yang dengan terpaksa, tipis saja karena membaca pesan singkat dari seseorang kala engkau tidak sendiri dan takut disangka orang gila? Sejatinya, engkau memang gila kala itu. Bukan kalimatnya yang membuatmu tersenyum, tetapi siapa pengirimnya lah yang membuatmu tersenyum girang.

Pernahkah engkau merasa seperti seorang ahli astrologi yang tahu segalanya, membenarkan banyak hal yang tercantum pada kolom ramalan horoskop satu majalah? Semata demi membahagiakan diri, membiarkan sugesti tak berubah menjadi motivasi.

Pernahkah engkau berbuat baik sepanjang hari, tersenyum sana-sini, semata karena luapan senang setelah disapa oleh seseorang? Membuatmu bersikap seolah besok akan mati.

Pernahkah engkau menjadi bodoh, hanya menggigit bibir karena matanya menatapmu begitu dalam? Membuatmu seolah hanyut dalam perasaan yang mengalir di bawah jembatan mata. 

Pernahkah engkau berubah menjadi security dua puluh empat jam bagi telepon genggam milikmu? Menjaganya pagi, siang, sore, malam. Langsung mencarinya ketika bangun tidur, menggenggam erat selama jam pelajaran berlangsung, meletakkannya persis di sebelah piring makan, tetap menyimpannya di dalam saku ketika pergi ke kamar mandi, mengecup dan akhirnya meletakkannya di bawah bantal sebelum terlelap. Semua semata karena menanti - dan tak ingin terlambat membalas pesan atau menerima telepon dari seseorang.

Pernahkah engkau menerjang hujan (di musim hujan) atau terik mentari yang amat menyengat (di musim panas) demi mendapatkan yang terbaik di antara yang terbaik lainnya? Gundah gulana, membuka tutup dompet, bolak balik dari satu toko ke toko lain, sibuk memilih kertas kado yang paling baik. Semua dikorbankan demi menjadi yang terbaik bagi seseorang di hari ulangtahunnya.

Pernahkah engkau mengumpulkan informasi apapun tentang seseorang, yang kala itu bagaikan permata yang sedang dikumpulkan oleh pedagang? Kesana kemari, menanyakan apa hobinya, apa kesukaannya, kemudian kamu ingat-ingat sepanjang hari, minggu, bulan, bahkan tahun. Kemudian tanpa disadari, perlahan mulai ikut menjadi bagian dari dirimu. 

Pernahkah engkau berbaring di atas ranjang, sudah lengkap dengan busana tidur andalan, sudah benar-benar menuruti lagu jaman kanak: cuci kaki dan tangan serta mendoakan mama dan papa, sudah siap untuk hilang sementara dari jagad dunia, tetapi tidak kunjung terlelap - terbawa masuk ke jagad mimpi? Engkau terjaga satu-dua jam kemudian dari awal kau siap untuk terlelap karena sibuk menjadi sutradara dadakan bagi kehidupanmu esok lusa. Merancang skenario-skenario yang menentramkan hati, meski tahu mustahil menjadi nyata. Setidaknya, aku tidur dengan bahagia.


Apakah seperti itu rasanya jatuh cinta?

Jika aku masih merasakan ratusan kupu-kupu mendesak perut, ketika sebaris nama tercantum di layar maya.

Jika aku masih mengulas senyum, yang dengan terpaksa, tipis saja karena membaca pesan singkat dari seseorang kala tidak sendiri dan takut disangka orang gila.

Jika aku masih merasa seperti seorang ahli astrologi yang tahu segalanya, membenarkan banyak hal yang tercantum pada kolom ramalan horoskop satu majalah.

Jika aku masih berbuat baik sepanjang hari, tersenyum sana-sini, semata karena luapan senang setelah disapa oleh seseorang.

Jika aku masih menjadi bodoh, hanya menggigit bibir karena matanya menatapku begitu dalam.

Tetapi,

Jika aku tidak berubah menjadi security dua puluh empat jam bagi telepon genggam, semata karena menanti - dan tak ingin terlambat membalas pesan atau menerima telepon dari seseorang. Bahkan, suatu hari aku baru menyadari ketidak hadiran namanya di daftar kontak telepon genggam milikku.

Jika aku tidak pernah menerjang hujan (di musim hujan) atau terik mentari yang amat menyengat (di musim panas) demi menjadi yang terbaik bagi seseorang di hari ulangtahunnya. Bahkan, suatu pagi aku terkejut ketika orang-orang menjabat tangannya dan memilin doa sebagai hadiah. Tidak tahu tanggal lahirnya.

Jika aku tidak sekalipun menanyakan apa hobinya, apa kesukaannya, kemudian mengingat-ingat sepanjang hari, minggu, bulan, bahkan tahun. Tidak pernah mencoba, sok mengerti dan sok suka tentang apapun yang ia gemari.

Jika aku sudah berserah, tidak lagi terjaga satu-dua jam kemudian dari awal aku siap untuk terlelap karena sibuk menjadi sutradara dadakan bagi kehidupanku esok lusa. Tidak merancang skenario-skenario yang menentramkan hati, meski tahu mustahil menjadi nyata. Benar-benar menjadikan diri sebutir debu, terserah hendak diapakan: ditiup agar menghilang, atau justru dijaga agar menumpuk dan menghilangkan esensi keindahan.

Bagaimana aku harus mendefinisikan perasaan ini? 

Cinta, tidak memenuhi seluruh adat ketika jatuh cinta.

Bukan cinta, tapi aku memenuhi sebagian adat ketika jatuh cinta.

Apa? Apa yang bergejolak di dalam hati ini?

Apa? Apa yang selalu membuat dada ini bergemuruh hebat kala aku menjumpamu?

Ataukah, justru ini cinta yang sejati? Cinta yang sesuai dengan hakikatnya: bahagia. Merelakan, sepanjang tokoh-tokohnya bersuka cita. 

Ataukah, justru ini cinta yang akhirnya akan bersemi? Mengikuti garis yang telah dilukiskan, tidak melawan. Hanya berserah.

Ataukah, ini hanya segumpal rasa yang terlanjur kesal pada bunga harapan yang terlanjur tumbuh?

Ataukah, ini hanya rasa berlebih efek terlalu sering mennyaksikan drama?

Dua kemungkinan terakhir bisa saja benar. 

Seandainya aku tidak memendam rasa ini nyaris tiga tahun lamanya.



Cinta yang sejati, ialah cinta yang tak punya sebab.



Sabtu, 15 Desember 2012

Sebuah Kubus di Sebuah Kota





Kepada
Sepatu yang berjajar rapi di depan pintu

Selamat petang.

Aku masih terbalut letih ketika jarum mesin waktu menunjuk angka lima. Beraroma peluh dan bergaya lelah, mengemudikan kendaraan dengan separuh pikir menerawang. Separuh saja, jadi masih ada ruang untuk berkonsentrasi pada jalanan.

Cakrawala sedang menari dengan lentik kala itu. Elok gemulai dengan tahta pada jemari: cincin permata bersinar emas, dan mengayunkan selendang biru keunguan. Senja yang selalu menghangatkan. Dari balik kemudi, aku menjadi tenang. Ah, pun dengan yang lain: yang masih di balik kubikal kantor, yang masih terjebak macet, yang masih menahan emosi gegara satu dua hal. Semua, pada waktunya akan mencapai ketenangan, luluh terpesona menatap indahnya cakrawala yang terpoles senja.

Lampu lalu lintas berubah merah. Pedal rem terinjak sempurna, memperlambat kecepatan hingga tiba pada keadaan diam. Sempurna diam, meninggalkan deru mesin yang samar dan perlahan berubah menjadi jelas. 

Masih 117 detik. 

Aku mengedarkan pandang. Ke kiri: di belakang kemudi mobil milyaran juta, seorang wanita terbalut busana kerja. Busana kamar. Aku melengos, sesuatu yang tabu telah berubah menjadi madu: manis dan dapat dijadikan bisnis. Ke kanan: pemuda yang bertato daki memainkan gitar serampangan. Sepanjang keluar suara, sepanjang dapat belas kasihan. Aku menurunkan kaca jendela, menjatuhkan sekeping logam bernilai satu sedot air teh.

Masih 73 detik.

Di atas trotoar, ibu penjual koran meletakkan tumpukan koran yang sudah basi. Siapa pula mau membeli? Petang begini, koneksi internet juga tidak mati. Dua kanak-kanak berlari mendekat, berteriak entah apa. Mengacungkan gelas abal keluaran restoran cepat saji terkemuka. Aku memahami, mungkin hasil bekerja.

Masih 30 detik.

Dua kanak-kanak tadi kini berbaring dengan akur. Kepala berbantal tumpukan koran, dengan trotoar menumpu badan. Gurat lelah terlukis di sekitar mata sayu yang tengah terpejam tapi berkedut-kedut ringan. Sang Ibu duduk bersandar pada tiang lampu lalu lintas, membelai rambut keduanya, yang meski dari jauh pun aku tahu pasti, tidak lembut pun harum. 

Lampu lalu lintas berubah hijau. Seperti warna apel malang yang siang tadi aku makan sebagai ganti karbohidrat. Hijau yang berbeda, sih. Pedal gas diinjak, kemudi digerakkan, dan roda mulai berputar. Meniti aspal jalanan yang nyaris sama seperti kehidupan, keras. Atau mungkin nyaris sama dengan kehidupan kanak-kanak tadi? Nyaris sama dengan alas tidur mereka tadi? 

Separuh pikiranku kembali menerawang. Menyesali perilaku kehidupan yang teramat tidak adil. Atau justru terlalu adil? Sehingga apa yang mereka dapatkan sekarang, sesuai apa yang telah mereka lakukan sebelumnya? Kemudian aku bersimpati, menempatkan diri pada posisi mereka. Menyedihkan. Lelah, dan mereka tidak punya tempat untuk pulang. Pulang dalam artian kembali kepada sesuatu yang membuatmu nyaman. Kampung halaman, misalnya. Tidak punya tempat untuk kembali, lantas membuang penat dan menggantinya dengan nikmat. Tidak ada, tidak punya. Yang ada hanya lelah, lelah, dan semakin lelah. Tidak ada nikmat, yang ada selalu penat.

Waktu seolah menerbangkanku, tanpa terasa aku semakin dekat dengan rumah. Ya, rumah  yang sesungguhnya. Rumah tempatku selalu kembali, rumah dimana titik kenyamananku dapat aku temukan. Rumah. Rumah yang tak dimiliki kanak-kanak tadi. Kembali, ku hela nafas berat. Seberat timbangan di sisi kanan, yang membuatnya tidak seimbang.

Kendaraanku telah terparkir. Aku tinggalkan semua pikiran, semua emosi, dan juga lelah di dalamnya. Tidak ku izinkan mereka ikut bersamaku, menghirup dan mengganggu romansa tenang dan nyaman di dalam kubus tempat tinggalku. Aku menutup pintu kendaraan, pertanda mengurung mereka di dalam sana, kemudian menyeret langkah ke hadapan pintu rumah.

Kala itu, aku terdiam. Bibir belum sempat mengalun salam, pun dengan tangan yang belum sempat memberi ketuk pada pintu. Renungan singkat, sesaat sebelum kaki menginjak rumah.

Barisan sepatu tertata rapi di depan pintu. Belum dipindahkan masuk oleh empunya, ternyata. Ada lima pasang sepatu disana. Satu pasang sepatu tentara, satu pasang selop yang seharusnya berjodoh kebaya, dan tiga sisanya ialah pasangan sepatu karet. Dua dari tiga berukuran lebih kecil dan lebih berwarna, menjadi amat berbeda dengan satu yang lebih besar dan berwarna monoton: hitam.

Tersadar aku, oleh gelak tawa dari dalam rumah. Para empu dari sepatu-sepatu ini, asyik bercanda, mencipta ria: Ayahku; Ibuku; Istriku; dan dua buah hatiku.

Tuhan, jika waktuku mati adalah hari ini, izinkan aku mendekap mereka. Lebih dahulu ikut bersua dalam ria. Lebih dahulu hangat oleh harmoni yang tercipta.  

Tuhan, aku menyadari. Sesuatu yang paling indah seusai bekerja, bukanlah seamplop penuh uang sebagai bayar. Namun, keberadaan rumah sebagai tempatmu berpulang, ialah indah yang sejati. Ialah indah yang bermakna. Ialah bayar yang paling impas dan berharga.

Aku memantapkan hati. Menunduk, menjinjing sepatu-sepatu itu masuk dengan amat kerepotan. Lalu, menyapa keluarga dengan tawa, larut dalam ria.

Tidak serepot mencari posisi nyaman ketika berbaring di atas trotoar, dan tidak sesulit mereka mencari tempat untuk berpulang.


Terimakasih untuk peranmu dalam menyadarkanku,
Aku selalu memiliki tempat yang nyaman untuk berpulang.

Tertanda,
Seseorang yang akan selalu pulang. Kembali.



Hidup yang tidak adil, atau kamu yang tidak adil dalam memperlakukan kehidupan?














Rabu, 12 Desember 2012

Kenangan Ampas Kopi



Secangkir kopi menemani malamku yang sendu. Bergelut dengan kenangan yang tiba-tiba meronta keluar. Mati-matian aku menahan diri supaya tiada memori lama yang terputar kembali. Supaya tiada ukiran luka pada hati.

Langit sekelam perasaanku malam ini. Bulan hanya terlihat tipis, seujung kuku saja. Bintang, tidak ada. Mungkin satu di ujung sana, itu pun kalau aku tidak salah mengartikan kelip lampu sebagai bintang. Langit benar-benar kosong. Hampa tak berisi, bahkan serabut awan saja tak terlihat.

Sekelam perasaanku, tapi tak seramai pikiranku. Aku seperti terasuki jutaan watt listrik, membuat berbagai macam pikiran berlompatan di sini. Otak. Kalau saja masih bisa dibilang otak karena rasanya sudah tiada lagi akal pikiran yang bisa diciptakan sebagaimana fungsi otak sesungguhnya, untuk saat ini.

Kepul dari kopiku kian memudar. Menandakan suhunya yang perlahan mulai turun. Aku menyeruput sedikit, lalu meletakkannya tanpa gairah. Ah ya, bahkan aku lupa bagaimana rasanya bergairah. Bernafsu. Semenjak.. kamu hilang.

Tidak. Sebenarnya aku tahu kamu tidak hilang. Kamu masih ada. Entah di belahan bumi bagian mana, yang jelas pasti ada. Hanya saja aku terlalu buta dan takut untuk mau melihat dimana kamu berada.

Kini, kopi hitamku semakin berbayang kamu. Langit yang tadinya kosong, kini bergambar wajah bulat dengan mata sayu yang selalu ku rindu. Desah suara dan nafasmu yang selalu berirama, seperti larut bersama tiupan angin. Sengaja dibawakan sampai ke depan gendang telinga. Dan aku makin tak berdaya. Kenangan-kenangan lama telah tercabut dengan paksa. Membangkitkan hormon rindu pun pilu. 

Meremas rambut pun  tiada guna. Aku telah terasuki. Kenangan. Masa lalu. Kisah. Bersama. Aku. Kamu. Pergi. Dilupakan. Alasan. Sendiri. Pilu. Mengenaskan. Rindu. Pertemuan. Waktu. Astaga! Aku benar-benar mual, pusing. Aku butuh udara. Dan aku butuh pergi, lari, dan kabur dari kenangan masa lalu yang kini kembali.

Cangkir kopi berderak sebagai efek pukulanku kepada meja. Aku dikalahkan, dijebak. Sialan! Kenangan masa lalu memang teramat licik. Pandai sekali memanfaatkan kelalaian, menjadikan kebahagiaan sebagai sarana penyiksaan. Aku kalah, batinku dengan bibir bergetar. Meraih cangkir kopi dengan gusar, lantas meneguknya hingga tandas tak bersisa, meski tetap tanpa gairah.

Satu, dua, delapan. Aku menghitung dalam hati. Menghirup oksigen sebanyak yang ku mampu, sebelum rongga dadaku kembali terhimpit karena kenangan yang kembali. Sebelum berbagai kenangan terpecah dan membanjiri hati, lagi.

Sejujurnya, tidak ada yang salah dari kenangan, pun dengan mengenang. Kenangan diciptakan supaya kita mengerti bagaimana caranya menyikapi kehidupan. Dengan tujuan yang teramat mulia, agar kita mendapat pemahaman baru dari tiap kenangan yang terlewat.

Aku menyeka peluh yang mulai membiji jagung di atas dahi, lantas menariki hidung entah supaya apa. Dan kulanjutkan kembali perenungan yang terhenti, mengenai kenangan.

Kenangan sama sekali bukan makhluk jahat yang tak berbudi. Dia tidak pernah, sekalipun, membuat jeratan ataupun perangkap yang sering dikoar-koar manusia. Tetapi, manusia-manusia sendirilah yang menjadikan dirinya terperangkap. Dengan mencipta sesuatu semu menjadi seolah nyata. Dengan menjadikan kebenaran sebagai kesalahan.

Seseorang pernah berkata kepadaku:
Seperti belajar menulis, saya mungkin sudah lupa bagaimana cara saya belajar menulis. Namun, bukan berarti saya melupakan bagaimana caranya menulis. Kita bisa lupakan hal-hal, tetapi bukan berarti kita melupakan pelajaran dari itu.

Mataku menyorot pilu pada gumpal ampas kopi di dalam cangkir yang tak lagi berair. Aku tahu benar bagaimana rasanya menjadi gumpal ampas hitam pekat itu. Setelah kau dianggap (karena menjadi sesuatu yang dapat membuat air tawar terasa lebih nikmat) kemudian kau dijadikan onggokan (karena tak lagi bisa memberi manfaat). Ya, seperti itulah kenanganku. Menjadi gumpal ampas kopi pada cangkir seorang bidadari bumi. Tak lagi dicari, tak lagi diminta, dan tak sekalipun diberi penjelasan mengapa aku ditinggal. Karena aku memang sudah tahu alasannya, meski hanya meraba.

Dan malam menutup hariku, dengan setitik awan yang tiba-tiba muncul dan membelah. Memisah. Cangkir kopi seolah berada di antaranya, dari sudut pandangku yang kini terpekur di kursi. Mengenang lagi, tapi kini telah merelakan.

Kenangan bukanlah sesuatu untuk dikenang dan mengekang, tetapi kenangan dicipta untuk menjadi pelajaran dan pemahaman.


Ditulis dari sudut pandang lelaki, 
meski aku bukan seorang lelaki.

Selasa, 11 Desember 2012

Pesan dari Abjad R dalam Setangkup Kamus



Rindu ialah kosakata yang paling aku pahami, setelah kata aku, kamu, dan kita. Tak perlu engkau membuka kamus ketika engkau tanyakan artinya padaku. Karena jawabku sudah pasti benar. Tak perlu engkau ragukan, kawan. Karena memang telah terjalin hubungan akrab antara aku dengan rindu. Merindu, lebih tepatnya.

Ketika mata menjadi kaca, berusaha menafikan sesuatu yang nyata. Ketika hati menjadi serapuh jaring laba-laba, terkulai tak berdaya sedikit saja di atau ter sentuh. Ketika itu pula, engkau menafikan fakta bahwa aku memang ada. Ketika itu pula, engkau sebagai jangkar milik kapal tempatku berlayar menjatuhkan diri ditengah meriahnya gulungan ombak. Seperti sengaja, membuatku sesak nafas dan tersengal-sengal. 

Itu hubunganku dengan merindu. Meski hanya gambaran semata, tak sepenuhnya realita. 

Aku hanyalah kedipan mata. Nyaris tak kasat. Bahkan tak diperhitungkan karena hanya setitik setiap puluhan detik. 

Itu peranku dalam merindu. Menjadi kedipan mata bagi dirimu.

Kepada kamu, akan aku mulai, aku ingin berbagi sesuatu. Memberi tahu bagaimana menyesakkannya merindu. Terutama merindu dirimu, yang tidak pernah mau tahu kalau sedang dirindu.

Pernah engkau membayangkan menjadi anak kecil yang matanya berbinar tatkala melihat etalase penuh kembang gula warna-warni? Terduduk di atas trolley sebuah pusat perbelanjaan yang dengan hati-hati didorong Sang Ibunda sehingga tak kuasa merampas kembang gula tesebut ketika melewatinya. Bahkan setelah benar-benar melewatinya. Merengek pun tak didengar, justru diberi bermacam himbauan yang berarti namun tak kau perlukan karena telah murni dilarang.

Begitulah merindu. Kau berada di dalam posisi yang tidak menguntungkan, dipagari entah apa. Sesuatu yang sejatinya tidak bisa menjadi pagar, atau katakanlah dia pagar yang lemah, namun sesuatu membuatmu lebih lemah, teramat lemah hingga terkalahkan oleh abstraksi benda yang terasa nyata. Dan posisimu tidaklah menguntungkan, tanganmu menjadi begitu kecil, keberanianmu sontak menjadi liliput di tengah cakar-cakar langit. Menggapai kembang gula tidak lagi perkara mudah. 

Terduduk. Tertunduk. Dan, terdiam. Tiga fase te yang menjadi pemecah klimaks dua keadaan di atas.

Dan, entah manis atau getir, kau adalah kembang gula warna-warni di etalase. Menyilaukan mata, menggerlapkan jiwa dengan menggoda, merayu manja. Aku adalah bocah kecil. Terpesona, terperdaya. Dengan tangan terulur merana, mencoba menggapai apa yang dicita.

Sama mustahilnya dengan sikap bocah kecil di atas trolley yang mencoba merampas kembang gula dari etalase. Tak mungkin didapatkan, bahkan tersentuh saja tak akan mungkin. Pun dengan merindumu. Mustahil aku bisa menyentuhmu, dan pada akhirnya melepas rindu dengan merengkuhmu. Tidak akan pernah. Atau, tepatnya tidak akan pernah ada kesempatan untuk itu. 

Dan aku akan hanya bisa:

Terduduk. Menatap sayu ujung-ujung jemari tangan yang kukunya tumpul, habis digigiti. 

Tertunduk. Merenungi, meresapi, menyadari, dan menerima.Yang terakhir ialah bagian terpenting, menerima bahwa memang tidak ada lagi yang dapat aku lakukan selain harus menerima.

Terdiam. Tidak protes dan tidak merajuk, karena telah memahami bahwa segala sesuatu yang aku kerjakan tidak akan membuatmu berpaling dan merengkuhku. Membantuku keluar dari jeratan rindu.

Kamu, pahamilah apa yang telah aku ceritakan. Rasakan bagaimana sulitnya aku berada dalam posisi merindu. Dan akan kau dapati rasa sesak yang timbul menghimpit dada. 

Astaga, maafkan. Tapi sungguh aku tidak muluk, karena engkau sanggup menghabiskan tulisan ini saja sudah sesuatu yang patut aku syukuri. Aku terimakasih-i. Karena artinya, masih ada aku di suatu waktumu. 


Kuucapkan terimakasih, teruntuk kamus yang menuliskan hakikat aku, kamu, kita, dan rindu. 







The Legilimens Spell



Legilimens ialah salah satu dari sekian banyak mantera yang digunakan dalam kehidupan serial film terkenal di dunia, Harry Potter. Saya memilihnya tentu dengan alasan, dan juga kesesuaian dengan apa yang akan menjadi objek blog ini.

Dari mesin pencarian, saya mendapat sebuah pengertian dari makna dan tujuan kalimat legilimens sebagai mantera.

Legilimens

Pengucapan: [lɛˈdʒɪlɨmɛnz] le-jil-i-menz
Deskripsi: Memungkinkan pemantera untuk menggali ke dalam pikiran korban, memungkinkan kastor untuk melihat kenangan, pikiran, dan emosi korban.
Dilihat/disebutkan: Digunakan oleh Snape pada Harry selama pelajaran Occlumency di Order of the Phoenix dan dengan Dumbledore pada Kreacher. Juga digunakan nonverbal oleh Snape pada Harry dalam Half-Blood Prince untuk memungkinkan dia untuk melihat di mana Harry belajar Sectumsempra mantra. Digunakan oleh Lord Voldemort kali ganda untuk melihat pikiran Harry.
Catatan: Lihat juga Legilimency untuk informasi lebih lanjut.

Menggali ke dalam pikiran, memungkinkan untuk melihat kenangan, pikiran, dan emosi korban. Alangkah menakjubkan. Dan saya ingin. Bukan akal saya yang akan melakukannya, pun dengan hati. Bukan. Melainkan karya yang esok lusa akan saya persembahkan. Semata untuk siapapun yang berbaik hati rela meluangkan waktunya demi membaca sesuatu di halaman ini. Saya berharap, apa yang menjadi buah tangan saya mampu menjadi mantera legilimens. Menjadi penggali pikiran, menggali kenangan sehingga menimbulkan letupan emosi. Karya seperti itulah yang saya harapkan. Karya yang hidup meski bukan dalam arti harfiah.

Dan sebagaimana sebuah mantera bekerja, butuh tekad, kesungguhan, konsentrasi, keuletan, dan yang terpenting butuh objek agar sebuah mantera dapat bekerja. Dan kalianlah, para pembaca yang entah akan ada atau tidak, objeknya. Kalian penentu keberhasilan mantera yang saya pilih ini.

So, will you be my reader?