Pernahkah engkau jatuh cinta?
Atau, paling tidak, pernahkah engkau melihat insan yang sedang jatuh cinta?
Kau tahu bagaimana perasaannya? Dan tahukah engkau bagaimana tingkah lakunya? Normalnya manusia, perasaan mereka akan menjadi sangat sensitif: terhadap rasa senang, sedih, ataupun kesal. Normalnya manusia, tingkah laku mereka menjadi brutal: ketika senang, sedih, ataupun kesal.
___________________________________________________________________________________
Pernahkah engkau merasakan ratusan kupu-kupu mendesak perutmu ketika sebaris nama tercantum di layar maya: entah telepon genggam, komputer, tablet, atau apapun itu? Sejatinya, itu bukan kupu-kupu. Itu dopamin ekstra yang diproduksi secara suka rela oleh tubuhmu, sesuatu yang membuatmu akan merasa senang berlebihan ketika jatuh cinta.
Pernahkah engkau mengulas senyum, yang dengan terpaksa, tipis saja karena membaca pesan singkat dari seseorang kala engkau tidak sendiri dan takut disangka orang gila? Sejatinya, engkau memang gila kala itu. Bukan kalimatnya yang membuatmu tersenyum, tetapi siapa pengirimnya lah yang membuatmu tersenyum girang.
Pernahkah engkau merasa seperti seorang ahli astrologi yang tahu segalanya, membenarkan banyak hal yang tercantum pada kolom ramalan horoskop satu majalah? Semata demi membahagiakan diri, membiarkan sugesti tak berubah menjadi motivasi.
Pernahkah engkau berbuat baik sepanjang hari, tersenyum sana-sini, semata karena luapan senang setelah disapa oleh seseorang? Membuatmu bersikap seolah besok akan mati.
Pernahkah engkau menjadi bodoh, hanya menggigit bibir karena matanya menatapmu begitu dalam? Membuatmu seolah hanyut dalam perasaan yang mengalir di bawah jembatan mata.
Pernahkah engkau berubah menjadi security dua puluh empat jam bagi telepon genggam milikmu? Menjaganya pagi, siang, sore, malam. Langsung mencarinya ketika bangun tidur, menggenggam erat selama jam pelajaran berlangsung, meletakkannya persis di sebelah piring makan, tetap menyimpannya di dalam saku ketika pergi ke kamar mandi, mengecup dan akhirnya meletakkannya di bawah bantal sebelum terlelap. Semua semata karena menanti - dan tak ingin terlambat membalas pesan atau menerima telepon dari seseorang.
Pernahkah engkau menerjang hujan (di musim hujan) atau terik mentari yang amat menyengat (di musim panas) demi mendapatkan yang terbaik di antara yang terbaik lainnya? Gundah gulana, membuka tutup dompet, bolak balik dari satu toko ke toko lain, sibuk memilih kertas kado yang paling baik. Semua dikorbankan demi menjadi yang terbaik bagi seseorang di hari ulangtahunnya.
Pernahkah engkau berbaring di atas ranjang, sudah lengkap dengan busana tidur andalan, sudah benar-benar menuruti lagu jaman kanak: cuci kaki dan tangan serta mendoakan mama dan papa, sudah siap untuk hilang sementara dari jagad dunia, tetapi tidak kunjung terlelap - terbawa masuk ke jagad mimpi? Engkau terjaga satu-dua jam kemudian dari awal kau siap untuk terlelap karena sibuk menjadi sutradara dadakan bagi kehidupanmu esok lusa. Merancang skenario-skenario yang menentramkan hati, meski tahu mustahil menjadi nyata. Setidaknya, aku tidur dengan bahagia.
Apakah seperti itu rasanya jatuh cinta?
Jika aku masih merasakan ratusan kupu-kupu mendesak perut, ketika sebaris nama tercantum di layar maya.
Jika aku masih mengulas senyum, yang dengan terpaksa, tipis saja karena membaca pesan singkat dari seseorang kala tidak sendiri dan takut disangka orang gila.
Jika aku masih merasa seperti seorang ahli astrologi yang tahu segalanya, membenarkan banyak hal yang tercantum pada kolom ramalan horoskop satu majalah.
Jika aku masih berbuat baik sepanjang hari, tersenyum sana-sini, semata karena luapan senang setelah disapa oleh seseorang.
Jika aku masih menjadi bodoh, hanya menggigit bibir karena matanya menatapku begitu dalam.
Tetapi,
Jika aku tidak berubah menjadi security dua puluh empat jam bagi telepon genggam, semata karena menanti - dan tak ingin terlambat membalas pesan atau menerima telepon dari seseorang. Bahkan, suatu hari aku baru menyadari ketidak hadiran namanya di daftar kontak telepon genggam milikku.
Jika aku tidak pernah menerjang hujan (di musim hujan) atau terik mentari yang amat menyengat (di musim panas) demi menjadi yang terbaik bagi seseorang di hari ulangtahunnya. Bahkan, suatu pagi aku terkejut ketika orang-orang menjabat tangannya dan memilin doa sebagai hadiah. Tidak tahu tanggal lahirnya.
Jika aku tidak sekalipun menanyakan apa hobinya, apa kesukaannya, kemudian mengingat-ingat sepanjang hari, minggu, bulan, bahkan tahun. Tidak pernah mencoba, sok mengerti dan sok suka tentang apapun yang ia gemari.
Jika aku sudah berserah, tidak lagi terjaga satu-dua jam kemudian dari awal aku siap untuk terlelap karena sibuk menjadi sutradara dadakan bagi kehidupanku esok lusa. Tidak merancang skenario-skenario yang menentramkan hati, meski tahu mustahil menjadi nyata. Benar-benar menjadikan diri sebutir debu, terserah hendak diapakan: ditiup agar menghilang, atau justru dijaga agar menumpuk dan menghilangkan esensi keindahan.
Bagaimana aku harus mendefinisikan perasaan ini?
Cinta, tidak memenuhi seluruh adat ketika jatuh cinta.
Bukan cinta, tapi aku memenuhi sebagian adat ketika jatuh cinta.
Apa? Apa yang bergejolak di dalam hati ini?
Apa? Apa yang selalu membuat dada ini bergemuruh hebat kala aku menjumpamu?
Ataukah, justru ini cinta yang sejati? Cinta yang sesuai dengan hakikatnya: bahagia. Merelakan, sepanjang tokoh-tokohnya bersuka cita.
Ataukah, justru ini cinta yang akhirnya akan bersemi? Mengikuti garis yang telah dilukiskan, tidak melawan. Hanya berserah.
Ataukah, ini hanya segumpal rasa yang terlanjur kesal pada bunga harapan yang terlanjur tumbuh?
Ataukah, ini hanya rasa berlebih efek terlalu sering mennyaksikan drama?
Dua kemungkinan terakhir bisa saja benar.
Seandainya aku tidak memendam rasa ini nyaris tiga tahun lamanya.
Cinta yang sejati, ialah cinta yang tak punya sebab.