Kamis, 19 November 2015

Bukan Pemberani

Bukan aku ingin lari
Aku hanya tak punya nyali
Terlampau jeri
Takut kau tak selamanya di sisi
Takut kau pergi
Takut sakit hati
Sebab hatimu adalah misteri
Dan tuturmu serupa teka teki
Maka ku rasa,
Mungkin cerita kita selayaknya diakhiri
Sebelum aku,
Atau kamu,
Saling tersakiti.

Sabtu, 07 Februari 2015

Jangan Khawatir, Sayang


Sudah berapa malam kau lewati dengan kekosongan? Hanya menyimak udara yang bergantian mengisi ruang, berbaring memandangi langit-langit kamar yang warnanya tak pernah berganti. Sibuk menepis sendiri, yang entah mengapa selalu tak mau pergi.

Aku mengerti, sayang. Engkau ingin pulang, tapi jalanan tak kunjung terang - dan engkau ingin merindu, tapi bahkan tak tahu siapa yang sebenarnya sedang engkau tunggu.

Malang, sayang. Malam yang harus kau lalui dengan sendiri masih panjang - bahkan waktu akan menjadi sedikit gagu. Tak perlu risau. Memang begitu hakikatnya menunggu.

Sabar, sayang. Jangan gentar. Jangan dahulu berputus asa. Barang kali ia singgah pada lalu lalang, hendak bertanya engkau di mana.

Jumat, 12 Desember 2014

Waktu Hujan




source

Hujan turun bersama kenangan yang telah menahun. Ia menjanjikan aroma masa lalu yang telah lama tak terbau - mengembalikan rindu. Pada rintiknya yang jatuh membasuh, aku biarkan jiwaku luruh - dan kenangan adalah tempatku berlabuh.

Ingatanku masih sempurna, meski hatiku sudah tidak. Aku masih menyimpan nyaman yang pernah terlanjur aku temukan. Dan betapa karenanya aku ingin kembali tenggelam - pada samudera yang engkau cipta dari caramu menatap aku. Pun aku ingin pulang - pada dekapmu yang ialah rumahku.

Senin, 08 Desember 2014

Tentang Beradu Layang-Layang dan Nyali Si Peretas Mimpi





Ini seperti berada di tanah lapang. Berdiri di antara riuh demi mengikuti perlombaan layang-layang. Tiap satu dari kami sudah punya mantera sendiri-sendiri. Tidak akan kalah kecuali oleh nyali sendiri. Ah, padahal, justru nyali yang pandai meretas mimpi.

Ketika peluit dibunyikan, kami mulai beradu kecepatan dan ketangkasan. Kepunyaan siapa yang akan dahulu mengudara? Malangnya, ini tidak sekadar siapa yang lebih dulu mengudara. Ini tentang bagaimana engkau bisa bertahan, tetap mengudara dengan elok dan lincah, meski dihadang segara aral.

Dan kemari, aku tidak hendak mendeskripsikan jalannya perlombaan ini. Aku hanya ingin berbagi kisah agar aku tak meraba mengapa sendiri. Barangkali, satu dua dari engkau disana ternyata merasa sama. Bila tidak menarik, tak mengapa. Aku sudah terbiasa bercerita sendiri, berbagi kata pada apa yang disebut dengan sunyi.

Pada perlombaan layang-layang ini, aku berangkat bersama buluh sebatang yang telah aku rakit hingga sedemikian rupa. Telah aku poles ia dengan warna warni yang mewakili mimpi. Pun bahannya, aku pakai yang harganya nomor satu di barisan etalase dagang. Buatku, layang-layang ini harus terbang tinggi. Atau paling tidak, bisa bertahan hingga mampu mengudara sendiri.

Aku memilih tempat di baris belakang tanah lapang. Mengapa? Supaya aku bisa mengamati sejauh mana kemampuan layang-layang lain bisa terbang. Supaya aku bisa memutuskan teknik apa yang hendak diterapkan. Dan ketika perlombaan dimulai, aku menutup mata. Membisik doa, lantas, dengan penuh kendali dan berani, mulai menerbangkan layang-layang kepunyaanku.

Setengah waktu perlombaan, masih banyak layang-layang lain yang sibuk bermain dengan angin. Dan tahu apa yang terjadi dengan kepunyaanku? Menyedihkan. Ia mulai koyak, meski baru sebentar disapu angin dan layang-layang lain. Muasalnya baru kutahu, layang-layang lain, ternyata, dilengkapi dengan nyali. Sedangkan milikku, lupa kugores dengan nyali. Maka wajar ia menjadi penjeri.

Ketika sudah begini, mesti bagaimana?

Masihkah pantas jika aku ulur layang-layang ini lebih tinggi? Menguji peruntungan dengan mempertaruhkan apa yang kini sebenarnya nyaris mati; mimpi.

Atau mungkin, memang sudah waktunya aku mengoreksi diri. Menurunkan layang-layang dan menggulung benang gelasan, mengemasi mimpi yang terlampau tinggi.

Aku sangsi. Pada kemungkinan dan kesempatan.
Aku iri. Pada mereka yang menyimpan nyali.
Dan aku jeri. Pada kuasa Ilahi yang tak tertandingi.


****

Patah mimpi jauh lebih menyakitkan dari sekadar patah hati. Dan patah nyali, jauh lebih menghancurkan dari sekadar patah mimpi.

Rabu, 26 November 2014

Aku, Mimpi, dan Segelas Kopi






Tidak ada yang berbeda dari malam ini, masih serupa dengan tak terhingga malam lainnya yang telah aku lewati dalam sepi sendiri. Di sudut ruangan, masih ada meja yang tampak keletihan setelah berulang waktu aku timpa dengan macam-macam perabot berat. Di atasnya masih ada serak tinta dan kertas yang sama. Pun aku masih terduduk dihadapannya, membisu dengan segelas kopi yang aromanya tak pernah beda.

Aku dan mimpi-mimpi yang tidak pernah dusta, telah berjanji untuk selalu bersama. Dan bersama ia yang hampir terlupa padahal tak pernah alpa, segelas kopi yang kepulnya menguatkan jiwa; yang getirnya justru melecut kami untuk bergegas meraih penawarnya, kami mencari lentera yang akan membantu kami meniti tangga.

Segelas kopi,
Terimakasih untuk selalu menemani ketika letih nyaris membuatku jeri meraih mimpi.


Jumat, 04 Oktober 2013

Circus Coffee; The Magical Coffee [1]

Petrichor mengiringi perjalanan saya menuju sebuah tempat tersibuk di kota. Kaca jendela mobil sengaja saya turunkan hingga setengahnya supaya kelegaan dan ketenangan segera mengisi pundi-pundi perasaan. Bulir air yang tersisa dari turunnya hujan sore ini juga sengaja saya biarkan menggantung di permukaan cermin. Dulu, kata orang yang acap singgah di dalam mimpi pun hati, kedua hal yang saya lakukan ini adalah setting terbaik untuk melamun.

Tidak, bukan saya yang mengemudikan kendaraan. Jadi hendak melamun sampai hari berganti pun tidak akan jadi masalah besar. Malang, kendaraan sudah sampai di depan seorang eksekutif muda dengan trolleynya. Pertanda saya sudah bersinggungan dengan kesibukan di tempat tersibuk kota ini.

Saya bergegas turun, mengambil trolley tak bertuan di tengah lalu lalang orang dan mendorongnya ke depan pintu bagasi. Bapak berusia kepala empat yang mengantar saya meletakkan ransel warna kelabu di atasnya sebelum akhirnya membungkuk hormat. Saya tertawa ringan, menyalaminya sembari menyelipkan Otto Iskandar Dinata. Dari dalam mobil ia melambaikan tangan, bersamaan dengan langkah saya menuju terminal keberangkatan.

Seharusnya masih ada waktu beberapa puluh menit sebelum waktu boarding tiba, tetapi saya tak begitu yakin. Jadilah saya mendekati LCD yang menunjukkan jadwal keberangkatan dan kedatangan pesawat di depan counter check in, memastikan berapa menit waktu bebas yang masih saya punya. Dan ternyata, masih ada sekitar 40 menit untuk sekadar mencuci mata dan mulut di lounge terdekat.

Trolley saya simpan di belakang banner sebuah maskapai penerbangan domestik yang cukup ternama. Kemudian menggendong ransel di satu pundak, dan masuk ke dalam lounge yang sunyi menyenyakkan.

Seorang waitress bertanya dimana saya hendak duduk dan dengan apa saya akan menghabiskan waktu. Saya menunjuk sebuah kursi yang langsung berhadapan dengan pantry, dimana ada seorang coffee maker beraksi di dalamnya. Waitress tadi tersenyum tipis, mengangguk dan mempersilakan saya untuk lebih dahulu berjalan ke sana.

Menit berikutnya saya habiskan dengan membolak-balik buku menu. Bingung karena terlalu banyak jenis makanan dan beverage yang tersedia. Saya putuskan untuk memesan segelas circus coffee, nama yang unik untuk mengundang rasa ingin tahu tentang bagaimana si coffee maker meramunya.

Sembari menunggu, saya mengeluarkan gadget - tablet dan seperangkat mp3 player - dari dalam ransel, kemudian mulai mengamati bagaimana si coffee maker beraksi. Ia tampak sudah terampil memainkan sendok dan botol-botol berisi aneka macam cairan. Tidak ada denting, ia penuh dengan ketenangan dan kemantapan - sebuah kunci untuk segelas kenikmatan.

Dan akhirnya circus coffee saya tiba dengan sedikit kepul uap di atasnya. Saya hendak mengambil foto akan kopi yang amat metroseksual ini, ketika tetiba saya mendengar bisik halus seseorang.

      "Saya mau yang seperti itu, apa namanya? Satu porsi. Di cup saja kalau bisa," bisiknya pada seorang waitress. Sayang, selembut apapun ia berbisik, dia tidak tahu kalau saya tetap bisa mendengarnya di tempat yang sehening ini.

       "Circus coffee," terang saya dari tempat duduk. "A cup of circus coffee, please," ulang saya kepada si waitress.

Setelah ia mengangguk pergi, baru saya perhatikan ia yang berbisik tadi. Dia seorang pramugari, ternyata. Parasnya ayu, selayaknya pramugari tentu saja. Pipinya tirus dengan dekik kecil di sisi kanan, sedangkan bibirnya melengkung sabit. Rambutnya tepat seketiak, terurai indah menunjukkan ikalnya yang menggantung manja di ujung-ujung rambut. Kakinya jenjang dibungkus kulit yang kuning langsat sedikit terbakar, mungkin dia sering sunbathing di sela cutinya.

        "Enak tidak?" tanyanya.
        "Sangat. Saya memperhatikan bagaimana si coffee maker beraksi ketika kopi ini dibuat. Dan dia tampak sangat lihai, tidak pantas untuk diragukan."

Saya tahu persis dia balik memperhatikan saya ketika pertanyaannya terjawab tadi. Saya jadi ingin menjebak manik matanya, biar dia tersipu. Dan ketika saya mencoba, justru saya yang jadi tersipu. Sebab dia tetap dalam ketenangannya terus saja memandangi saya.

Saya menghabiskan kopi supaya tidak terjadi kecanggungan. Kemudian, tepat ketika waitress datang mengantarkan kopi pramugari ini, saya sekaligus meminta bill dan menitipkan selembar seratus ribu kepadanya. Si pramugari tahu saya sedang bersiap untuk bergegas, dan tampaknya ia memutuskan untuk pergi lebih dulu dengan membawa serta kopinya. Saya pandangi punggungnya, dirinya yang mulai menjauh dari sapu pandangan, sampai habis benar bayang dirinya. Sampai si waitress datang, memberikan bill dan mengembalikan sisa uang saya.

----

Sabtu, 14 September 2013

Bangkit untuk Berdiri



Aku lemparkan senyum kepada badai  
Aku tebarkan tawa di antara karang-karang tajam
 Meski sakit diterjang badai
Meski perih tertusuk karang

Bukan buruknya klimaks yang menyakitkan
Betapa buruknya engkau dalam menilaiku yang menyakitkan

Daya tiada diupah
Proses tiada dipandang
Hasil tiada dipuji

Kamu yang tidak menghargai
Boleh lihat esok nanti
Aku berdiri tundukkan mimpi

Bila engkau tiada peduli
Lihat esok nanti
Aku bersuka sendiri

Tanpa dihargai,
Tetap hidup, tidak mati