Ini seperti berada di tanah lapang. Berdiri di antara riuh demi mengikuti perlombaan layang-layang. Tiap satu dari kami sudah punya mantera sendiri-sendiri. Tidak akan kalah kecuali oleh nyali sendiri. Ah, padahal, justru nyali yang pandai meretas mimpi.
Ketika peluit dibunyikan, kami mulai beradu kecepatan dan ketangkasan. Kepunyaan siapa yang akan dahulu mengudara? Malangnya, ini tidak sekadar siapa yang lebih dulu mengudara. Ini tentang bagaimana engkau bisa bertahan, tetap mengudara dengan elok dan lincah, meski dihadang segara aral.
Dan kemari, aku tidak hendak mendeskripsikan jalannya perlombaan ini. Aku hanya ingin berbagi kisah agar aku tak meraba mengapa sendiri. Barangkali, satu dua dari engkau disana ternyata merasa sama. Bila tidak menarik, tak mengapa. Aku sudah terbiasa bercerita sendiri, berbagi kata pada apa yang disebut dengan sunyi.
Pada perlombaan layang-layang ini, aku berangkat bersama buluh sebatang yang telah aku rakit hingga sedemikian rupa. Telah aku poles ia dengan warna warni yang mewakili mimpi. Pun bahannya, aku pakai yang harganya nomor satu di barisan etalase dagang. Buatku, layang-layang ini harus terbang tinggi. Atau paling tidak, bisa bertahan hingga mampu mengudara sendiri.
Aku memilih tempat di baris belakang tanah lapang. Mengapa? Supaya aku bisa mengamati sejauh mana kemampuan layang-layang lain bisa terbang. Supaya aku bisa memutuskan teknik apa yang hendak diterapkan. Dan ketika perlombaan dimulai, aku menutup mata. Membisik doa, lantas, dengan penuh kendali dan berani, mulai menerbangkan layang-layang kepunyaanku.
Setengah waktu perlombaan, masih banyak layang-layang lain yang sibuk bermain dengan angin. Dan tahu apa yang terjadi dengan kepunyaanku? Menyedihkan. Ia mulai koyak, meski baru sebentar disapu angin dan layang-layang lain. Muasalnya baru kutahu, layang-layang lain, ternyata, dilengkapi dengan nyali. Sedangkan milikku, lupa kugores dengan nyali. Maka wajar ia menjadi penjeri.
Ketika sudah begini, mesti bagaimana?
Masihkah pantas jika aku ulur layang-layang ini lebih tinggi? Menguji peruntungan dengan mempertaruhkan apa yang kini sebenarnya nyaris mati; mimpi.
Atau mungkin, memang sudah waktunya aku mengoreksi diri. Menurunkan layang-layang dan menggulung benang gelasan, mengemasi mimpi yang terlampau tinggi.
Aku sangsi. Pada kemungkinan dan kesempatan.
Aku iri. Pada mereka yang menyimpan nyali.
Dan aku jeri. Pada kuasa Ilahi yang tak tertandingi.
****
Patah mimpi jauh lebih menyakitkan dari sekadar patah hati. Dan patah nyali, jauh lebih menghancurkan dari sekadar patah mimpi.