Kamis, 28 Maret 2013

Simpul Kebenaran





Masih kuingat kala itu. Ketika dedaunan bergesekan tertiup angin dan serat-serat awan mengisi birunya langit, aku terpekur dalam kehampaan rasa.

Aku telah mencipta jarak. Menjauhkan yang dekat, memutus mimpi. Kenyataan bahwa engkau tersenyum tidak hanya kepadaku adalah sekatnya.

Tekadku hanya satu. Cukup agar aku tidak terlalu jauh terseret dalam rasa yang menimbulkan percik harapan. Aku tidak ingin menjadi bahan tawamu kelak.

Sudah pahit kurasakan ketika harus memunafiki rasa. Masih pula harus kurasakan perih. Kamu terlalu licin untuk kuhindari. Selalu ada celah bagimu untuk menyeretku kembali ke dalam medan magnetmu.

Kamu selalu berhasil menemukan mataku. Menatapnya seolah aku adalah satu. Dan, duhai, itulah lemah kepunyaan wanita.

Kamu selalu membangunkan rasa yang nyaris tertidur lelap dengan cara-cara halus. Membuat aku tidak menyadari bahwa rasa itu mulai bangun kembali. Membangkitkan kenangan yang sanggup dilupakan akal, tapi tidak dengan hati.

Tidak pernah ada sikap lain yang engkau ambil selain menarikku untuk kembali. Hanya menarik saja, tanpa disusul sikap yang semestinya. Begitu terus, membentuk siklus statis yang tak pernah putus.

Memang begitu,

Atau mungkin, aku memang terlalu picik dalam bermimpi. Sekecil benang putih menjadi selalu kuanggap merah. Picik karena tidak sudi ditundukkan nyata.



Kini, kebenaran semakin buram.