
Tidak ada benua yang membelah jalan kita. Pun dengan samudera, tak ada
lautan air yang dapat menenggelamkan diri ketika kita hendak bersama.
Dan bernafas pun, kita masih menghirup udara dengan suhu dan iklim yang
nyaris sama.
Jarum jam kita masih menunjuk angka yang sama. Berbeda pun, hanya perkara ketelitian atau sekadar paralaks. Tak ada jarak yang membentang di antara kita. Sungguh, kita semestinya berbahagia. Beruntung tak dipisahkan angka-angka pada satuan jarak.
Duhai, ketahuilah. Ketidak sempurnaan memang milik manusia. Dan keadilan, adalah hakikat kehidupan. Tuhan amat adil. Terlalu adil, bahkan. Fakta memang berbicara bahwa angka-angka pada satuan jarak, nyaris nol bila dibulatkan. Kita hanya berjarak satu-dua bangku, atau tiga-empat langkah. Tapi, tugas takdir adalah menyeimbangkan timbangan kehidupan.
Kita berjarak. Jarak yang tidak mungkin diatasi karena bukan jarak yang bersatuan.
Jarak kita: rasa.
Rasaku, tidak sama dengan rasamu.
Inginku, tidak pernah sejalan dengan inginmu.
Dan aku berubah menjadi
pendusta.
Kamu dekat, tapi tiada teraih.
Aku dekat, tapi kamu tak mengenal.
Jarak kita sulit dilalui. Hati kita berada pada titik yang sejajar, dan berjauhan. Sulit dipertemukan. Dan kini, memang sudah semestinya kita tak berbahagia.
Jarak kita sulit diatasi. Tidak ada pesawat yang mengudara, untuk ditumpangi. Tidak ada kapal yang berlayar, untuk diikuti. Kita terpisah, teramat jauh. Dan kamu menjadi tak tersentuh.
Kini, alamatmu berubah menjadi mimpi. Alamat yang tak dikenali, bahkan oleh merpati. Satu-satunya tempat dimana aku bisa menemui. Melepas rindu, melepas hasrat.
Peruntungan berada di pinggir tebing.
Suatu saat, jarak ini bisa melapuk. Tidak seperti jarak yang terukur oleh satuan. Kekal, kalau manusianya bertahan.
Tapi juga..
Suatu saat, jarak ini akan semakin jelas. Seiring bertemunya engkau dengan dia yang patut berbahagia. Tidak seperti jarak yang terukur oleh satuan, bisa menjadi nol ketika manusianya bergerak.
Entah mana yang akan terjadi.
Jarum jam kita masih menunjuk angka yang sama. Berbeda pun, hanya perkara ketelitian atau sekadar paralaks. Tak ada jarak yang membentang di antara kita. Sungguh, kita semestinya berbahagia. Beruntung tak dipisahkan angka-angka pada satuan jarak.
Duhai, ketahuilah. Ketidak sempurnaan memang milik manusia. Dan keadilan, adalah hakikat kehidupan. Tuhan amat adil. Terlalu adil, bahkan. Fakta memang berbicara bahwa angka-angka pada satuan jarak, nyaris nol bila dibulatkan. Kita hanya berjarak satu-dua bangku, atau tiga-empat langkah. Tapi, tugas takdir adalah menyeimbangkan timbangan kehidupan.
Kita berjarak. Jarak yang tidak mungkin diatasi karena bukan jarak yang bersatuan.
Jarak kita: rasa.
Rasaku, tidak sama dengan rasamu.
Inginku, tidak pernah sejalan dengan inginmu.
Dan aku berubah menjadi
pendusta.
Kamu dekat, tapi tiada teraih.
Aku dekat, tapi kamu tak mengenal.
Jarak kita sulit dilalui. Hati kita berada pada titik yang sejajar, dan berjauhan. Sulit dipertemukan. Dan kini, memang sudah semestinya kita tak berbahagia.
Jarak kita sulit diatasi. Tidak ada pesawat yang mengudara, untuk ditumpangi. Tidak ada kapal yang berlayar, untuk diikuti. Kita terpisah, teramat jauh. Dan kamu menjadi tak tersentuh.
Kini, alamatmu berubah menjadi mimpi. Alamat yang tak dikenali, bahkan oleh merpati. Satu-satunya tempat dimana aku bisa menemui. Melepas rindu, melepas hasrat.
Peruntungan berada di pinggir tebing.
Suatu saat, jarak ini bisa melapuk. Tidak seperti jarak yang terukur oleh satuan. Kekal, kalau manusianya bertahan.
Tapi juga..
Suatu saat, jarak ini akan semakin jelas. Seiring bertemunya engkau dengan dia yang patut berbahagia. Tidak seperti jarak yang terukur oleh satuan, bisa menjadi nol ketika manusianya bergerak.
Entah mana yang akan terjadi.
Jarak adalah kosakata yang meletupkan rindu.