Selasa, 29 Januari 2013

Letting Go

http://24.media.tumblr.com/tumblr_lkaogcFhGo1qct8ero1_500.jpg

Siluetmu hadir dalam mimpi. Mencengkeram tak mau lepas, menahan langkahku untuk pergi menjauh. Kalau ini nyata, mungkin aku bahagia. Sayangnya, ini hanyalah mimpi. Dimana segala sesuatunya sering kali lebih indah daripada kenyataan yang ada. Dan siluetmu, justru menjadi belati bagiku.

Aku tersayat habis. Ketika tadinya aku hendak melemparkan belati kepadamu, justru angin memutarnya ke arahku. Aku yang tadinya hendak memusnahkan siluetmu, menjadi kalah telak. Habis.

Meski kamu tak secara lisan menahanku agar tetap di dekatmu, seluruh ragamu yang bicara. Mata, senyum, dan berbagai perilakumu terlanjur memasungku pada hatimu. Memaksaku tetap ada, meski siksa selalu aku rasa.

Ya, siksa. Bayangkan, kau memang senang berada di dekat orang yang kau puja. Tetapi, bila hadirmu tak menyatukan hati dan mata tak pernah bertaut, untuk apa? Bahkan sekadar untuk mengeja kata saja aku tak sanggup. Sudah habis daya ini, lelah karena terpasung.

Kini, harapku hanya satu. Lepaskan aku, dan biarkan siluetmu hadir dalam mimpi wanita lain. Biar mereka, yang benar akan kau pilih, yang terpasung di hatimu. Karena hadir mereka tak akan sia, pada akhirnya benar akan menyatu dengan dirimu.

Hanya lepaskan aku. Masukkan kunci, putar, dan aku tak terpasung lagi. Sulitkah? Begitu sulitkah untuk sekadar membebaskan seseorang yang tak pernah bermakna bagi dirimu? Bahkan aku, yang menganggapmu bermakna saja merasa tak akan kesulitan untuk pergi darimu, sepanjang kau telah melepasku dari pasungmu.

Kalau aku tak penting bagi hidupmu, mengapa tetap menahan hatiku untuk diserahkan pada hatimu?


Kita adalah garis-garis yang sejajar. 
Selamanya tak akan memiliki titik temu.

Sabtu, 12 Januari 2013

Nebula dalam Penjara




Malam ini aku menarikan jari di atas keypad telepon genggam milikku. Serius, sibuk merangkai kata untuk akhirnya aku kirimkan kepadamu. Meski dari awal aku sudah yakin, semua akan berakhir sama. Menjadi tumpukan pesan yang tidak akan pernah terbaca olehmu.

Ketik satu kalimat, hapus. Ketik dua kalimat, hapus, Ketik tiga kalimat, hapus.

Ketik dua kata, dan aku termangu menatap layar. Menyuarakan dalam hati kata yang telah aku ketikkan. Penuh keraguan.
      Aku merindukanmu.

Sejenak hendak kuabaikan rasa ragu yang membelenggu. Tapi, kekuatannya mengganda, membuatku tertunduk dan kehabisan nyali untuk mengalahkannya. Lagi, untuk kesekian kalinya keraguan berhasil menang. Mengalahkanku dengan telak.
Terhapus sudah. Berganti dengan kalimat;
     Apa kabar? Lama kita tak berbincang.
yang ku akhiri dengan tanda titik dua kurung tutup. Tanda bahwa aku harusnya sedang tersenyum. Meski nyatanya aku sama sekali tidak mengukir senyum saat menuliskannya. Aku justru mati-matian menahan tanda titik dua kurung buka. Sedih karena rindu.

Kurasa, kalimat ini lebih hangat. Hangat yang bersahabat, tidak terlalu intim. Dan, diiringi tarikan nafas, aku menekan tombol kirim. Lega yang berurai air mata.

Layar telepon genggam menunjukkan halaman berisi kolom percakapan kita berdua. Ya, aku dan kamu. Seharusnya nama kita tercantum bergiliran. Aku, kamu, aku, kamu, aku, kamu, dan terus begitu. Sayang, segalanya tak seindah impian. Malam ini aku telah dibenturkan dengan kenyataan yang ada. Dipaksa melihat pedihnya nyata, seolah bola mata sengaja ditaburi bubuk cabai. Pedih, hingga mataku mulai berair.

Yang ada bukanlah percakapan antara kita. Melainkan antara aku, dan dengan aku pula. Selama ini, aku mengirim pesan yang faktanya tak pernah kamu baca. Pesanku menjadi nebula, kabut semata. Aku seolah mengisi buku harian, bercerita kepada diriku sendiri. Berbicara pada kosong.

      Apa kabar? :)
     Halo, bagaimana kabarmu? :D
     Sedang sibuk apa? :D
     Haiiiii! ;)

Dan seterusnya, hanya berisi kalimat-kalimat serupa. Kalimat yang semuanya bertuan aku. Kalimat yang tak sekalipun pernah terjawab, Hanya aku yang selalu melihat, bukan kamu yang seharusnya menjadi tujuan.
Beberapa orang mengalami hal yang sama seperti aku.

Beberapa dengan alasan ketidak beranian. Kalimat-kalimat menumpuk menjadi pesan yang bersatu di dalam kotak berjudul draft.

Beberapa dengan alsan yang tidak jelas. Kalimat-kalimat menumpuk menjadi pesan yang bersatu di dalam sebaris kotak masuk tujuan. Tidak terbalas, karena memang tak pernah terbaca. Entah apa asal muasal.

Dan ketika semua tinggal samar, hanya doa yang mampu kupilin dan kalimat yang tanya yang selalu kuantarkan melalui bunga tidur. Semoga, ada jawab suatu hari nanti. Entah lewat apa kau mengirimnya.

Pesan, teman, atau Tuhan.




Kita mengudara pada frekuensi yang berbeda. Dan garis frekuensi yang sejajar, tidak akan pernah membawa kita pada satu titik temu.