
Siluetmu hadir dalam mimpi. Mencengkeram tak mau lepas, menahan langkahku untuk pergi menjauh. Kalau ini nyata, mungkin aku bahagia. Sayangnya, ini hanyalah mimpi. Dimana segala sesuatunya sering kali lebih indah daripada kenyataan yang ada. Dan siluetmu, justru menjadi belati bagiku.
Aku tersayat habis. Ketika tadinya aku hendak melemparkan belati kepadamu, justru angin memutarnya ke arahku. Aku yang tadinya hendak memusnahkan siluetmu, menjadi kalah telak. Habis.
Meski kamu tak secara lisan menahanku agar tetap di dekatmu, seluruh ragamu yang bicara. Mata, senyum, dan berbagai perilakumu terlanjur memasungku pada hatimu. Memaksaku tetap ada, meski siksa selalu aku rasa.
Ya, siksa. Bayangkan, kau memang senang berada di dekat orang yang kau puja. Tetapi, bila hadirmu tak menyatukan hati dan mata tak pernah bertaut, untuk apa? Bahkan sekadar untuk mengeja kata saja aku tak sanggup. Sudah habis daya ini, lelah karena terpasung.
Kini, harapku hanya satu. Lepaskan aku, dan biarkan siluetmu hadir dalam mimpi wanita lain. Biar mereka, yang benar akan kau pilih, yang terpasung di hatimu. Karena hadir mereka tak akan sia, pada akhirnya benar akan menyatu dengan dirimu.
Hanya lepaskan aku. Masukkan kunci, putar, dan aku tak terpasung lagi. Sulitkah? Begitu sulitkah untuk sekadar membebaskan seseorang yang tak pernah bermakna bagi dirimu? Bahkan aku, yang menganggapmu bermakna saja merasa tak akan kesulitan untuk pergi darimu, sepanjang kau telah melepasku dari pasungmu.
Kalau aku tak penting bagi hidupmu, mengapa tetap menahan hatiku untuk diserahkan pada hatimu?
Kita adalah garis-garis yang sejajar.
Selamanya tak akan memiliki titik temu.