Jumat, 04 Oktober 2013

Circus Coffee; The Magical Coffee [1]

Petrichor mengiringi perjalanan saya menuju sebuah tempat tersibuk di kota. Kaca jendela mobil sengaja saya turunkan hingga setengahnya supaya kelegaan dan ketenangan segera mengisi pundi-pundi perasaan. Bulir air yang tersisa dari turunnya hujan sore ini juga sengaja saya biarkan menggantung di permukaan cermin. Dulu, kata orang yang acap singgah di dalam mimpi pun hati, kedua hal yang saya lakukan ini adalah setting terbaik untuk melamun.

Tidak, bukan saya yang mengemudikan kendaraan. Jadi hendak melamun sampai hari berganti pun tidak akan jadi masalah besar. Malang, kendaraan sudah sampai di depan seorang eksekutif muda dengan trolleynya. Pertanda saya sudah bersinggungan dengan kesibukan di tempat tersibuk kota ini.

Saya bergegas turun, mengambil trolley tak bertuan di tengah lalu lalang orang dan mendorongnya ke depan pintu bagasi. Bapak berusia kepala empat yang mengantar saya meletakkan ransel warna kelabu di atasnya sebelum akhirnya membungkuk hormat. Saya tertawa ringan, menyalaminya sembari menyelipkan Otto Iskandar Dinata. Dari dalam mobil ia melambaikan tangan, bersamaan dengan langkah saya menuju terminal keberangkatan.

Seharusnya masih ada waktu beberapa puluh menit sebelum waktu boarding tiba, tetapi saya tak begitu yakin. Jadilah saya mendekati LCD yang menunjukkan jadwal keberangkatan dan kedatangan pesawat di depan counter check in, memastikan berapa menit waktu bebas yang masih saya punya. Dan ternyata, masih ada sekitar 40 menit untuk sekadar mencuci mata dan mulut di lounge terdekat.

Trolley saya simpan di belakang banner sebuah maskapai penerbangan domestik yang cukup ternama. Kemudian menggendong ransel di satu pundak, dan masuk ke dalam lounge yang sunyi menyenyakkan.

Seorang waitress bertanya dimana saya hendak duduk dan dengan apa saya akan menghabiskan waktu. Saya menunjuk sebuah kursi yang langsung berhadapan dengan pantry, dimana ada seorang coffee maker beraksi di dalamnya. Waitress tadi tersenyum tipis, mengangguk dan mempersilakan saya untuk lebih dahulu berjalan ke sana.

Menit berikutnya saya habiskan dengan membolak-balik buku menu. Bingung karena terlalu banyak jenis makanan dan beverage yang tersedia. Saya putuskan untuk memesan segelas circus coffee, nama yang unik untuk mengundang rasa ingin tahu tentang bagaimana si coffee maker meramunya.

Sembari menunggu, saya mengeluarkan gadget - tablet dan seperangkat mp3 player - dari dalam ransel, kemudian mulai mengamati bagaimana si coffee maker beraksi. Ia tampak sudah terampil memainkan sendok dan botol-botol berisi aneka macam cairan. Tidak ada denting, ia penuh dengan ketenangan dan kemantapan - sebuah kunci untuk segelas kenikmatan.

Dan akhirnya circus coffee saya tiba dengan sedikit kepul uap di atasnya. Saya hendak mengambil foto akan kopi yang amat metroseksual ini, ketika tetiba saya mendengar bisik halus seseorang.

      "Saya mau yang seperti itu, apa namanya? Satu porsi. Di cup saja kalau bisa," bisiknya pada seorang waitress. Sayang, selembut apapun ia berbisik, dia tidak tahu kalau saya tetap bisa mendengarnya di tempat yang sehening ini.

       "Circus coffee," terang saya dari tempat duduk. "A cup of circus coffee, please," ulang saya kepada si waitress.

Setelah ia mengangguk pergi, baru saya perhatikan ia yang berbisik tadi. Dia seorang pramugari, ternyata. Parasnya ayu, selayaknya pramugari tentu saja. Pipinya tirus dengan dekik kecil di sisi kanan, sedangkan bibirnya melengkung sabit. Rambutnya tepat seketiak, terurai indah menunjukkan ikalnya yang menggantung manja di ujung-ujung rambut. Kakinya jenjang dibungkus kulit yang kuning langsat sedikit terbakar, mungkin dia sering sunbathing di sela cutinya.

        "Enak tidak?" tanyanya.
        "Sangat. Saya memperhatikan bagaimana si coffee maker beraksi ketika kopi ini dibuat. Dan dia tampak sangat lihai, tidak pantas untuk diragukan."

Saya tahu persis dia balik memperhatikan saya ketika pertanyaannya terjawab tadi. Saya jadi ingin menjebak manik matanya, biar dia tersipu. Dan ketika saya mencoba, justru saya yang jadi tersipu. Sebab dia tetap dalam ketenangannya terus saja memandangi saya.

Saya menghabiskan kopi supaya tidak terjadi kecanggungan. Kemudian, tepat ketika waitress datang mengantarkan kopi pramugari ini, saya sekaligus meminta bill dan menitipkan selembar seratus ribu kepadanya. Si pramugari tahu saya sedang bersiap untuk bergegas, dan tampaknya ia memutuskan untuk pergi lebih dulu dengan membawa serta kopinya. Saya pandangi punggungnya, dirinya yang mulai menjauh dari sapu pandangan, sampai habis benar bayang dirinya. Sampai si waitress datang, memberikan bill dan mengembalikan sisa uang saya.

----

Sabtu, 14 September 2013

Bangkit untuk Berdiri



Aku lemparkan senyum kepada badai  
Aku tebarkan tawa di antara karang-karang tajam
 Meski sakit diterjang badai
Meski perih tertusuk karang

Bukan buruknya klimaks yang menyakitkan
Betapa buruknya engkau dalam menilaiku yang menyakitkan

Daya tiada diupah
Proses tiada dipandang
Hasil tiada dipuji

Kamu yang tidak menghargai
Boleh lihat esok nanti
Aku berdiri tundukkan mimpi

Bila engkau tiada peduli
Lihat esok nanti
Aku bersuka sendiri

Tanpa dihargai,
Tetap hidup, tidak mati



Kamis, 28 Maret 2013

Simpul Kebenaran





Masih kuingat kala itu. Ketika dedaunan bergesekan tertiup angin dan serat-serat awan mengisi birunya langit, aku terpekur dalam kehampaan rasa.

Aku telah mencipta jarak. Menjauhkan yang dekat, memutus mimpi. Kenyataan bahwa engkau tersenyum tidak hanya kepadaku adalah sekatnya.

Tekadku hanya satu. Cukup agar aku tidak terlalu jauh terseret dalam rasa yang menimbulkan percik harapan. Aku tidak ingin menjadi bahan tawamu kelak.

Sudah pahit kurasakan ketika harus memunafiki rasa. Masih pula harus kurasakan perih. Kamu terlalu licin untuk kuhindari. Selalu ada celah bagimu untuk menyeretku kembali ke dalam medan magnetmu.

Kamu selalu berhasil menemukan mataku. Menatapnya seolah aku adalah satu. Dan, duhai, itulah lemah kepunyaan wanita.

Kamu selalu membangunkan rasa yang nyaris tertidur lelap dengan cara-cara halus. Membuat aku tidak menyadari bahwa rasa itu mulai bangun kembali. Membangkitkan kenangan yang sanggup dilupakan akal, tapi tidak dengan hati.

Tidak pernah ada sikap lain yang engkau ambil selain menarikku untuk kembali. Hanya menarik saja, tanpa disusul sikap yang semestinya. Begitu terus, membentuk siklus statis yang tak pernah putus.

Memang begitu,

Atau mungkin, aku memang terlalu picik dalam bermimpi. Sekecil benang putih menjadi selalu kuanggap merah. Picik karena tidak sudi ditundukkan nyata.



Kini, kebenaran semakin buram.

Senin, 25 Februari 2013

Kilo(meter)

 



Tidak ada benua yang membelah jalan kita. Pun dengan samudera, tak ada lautan air yang dapat menenggelamkan diri ketika kita hendak bersama. Dan bernafas pun, kita masih menghirup udara dengan suhu dan iklim yang nyaris sama.

Jarum jam kita masih menunjuk angka yang sama. Berbeda pun, hanya perkara ketelitian atau sekadar paralaks. Tak ada jarak yang membentang di antara kita. Sungguh, kita semestinya berbahagia. Beruntung tak dipisahkan angka-angka pada satuan jarak.

Duhai, ketahuilah. Ketidak sempurnaan memang milik manusia. Dan keadilan, adalah hakikat kehidupan. Tuhan amat adil. Terlalu adil, bahkan. Fakta memang berbicara bahwa angka-angka pada satuan jarak, nyaris nol bila dibulatkan. Kita hanya berjarak satu-dua bangku, atau tiga-empat langkah. Tapi, tugas takdir adalah menyeimbangkan timbangan kehidupan.

Kita berjarak. Jarak yang tidak mungkin diatasi karena bukan jarak yang bersatuan.

Jarak kita: rasa.

Rasaku, tidak sama dengan rasamu.
Inginku, tidak pernah sejalan dengan inginmu.

Dan aku berubah menjadi
pendusta.

Kamu dekat, tapi tiada teraih.
Aku dekat, tapi kamu tak mengenal.

Jarak kita sulit dilalui. Hati kita berada pada titik yang sejajar, dan berjauhan. Sulit dipertemukan. Dan kini, memang sudah semestinya kita tak berbahagia.

Jarak kita sulit diatasi. Tidak ada pesawat yang mengudara, untuk ditumpangi. Tidak ada kapal yang berlayar, untuk diikuti. Kita terpisah, teramat jauh. Dan kamu menjadi tak tersentuh.

Kini, alamatmu berubah menjadi mimpi. Alamat yang tak dikenali, bahkan oleh merpati. Satu-satunya tempat dimana aku bisa menemui. Melepas rindu, melepas hasrat.

Peruntungan berada di pinggir tebing.

Suatu saat, jarak ini bisa melapuk. Tidak seperti jarak yang terukur oleh satuan. Kekal, kalau manusianya bertahan.

Tapi juga..

Suatu saat, jarak ini akan semakin jelas. Seiring bertemunya engkau dengan dia yang patut berbahagia. Tidak seperti jarak yang terukur oleh satuan, bisa menjadi nol ketika manusianya bergerak.

Entah mana yang akan terjadi.



Jarak adalah kosakata yang meletupkan rindu.

Selasa, 29 Januari 2013

Letting Go

http://24.media.tumblr.com/tumblr_lkaogcFhGo1qct8ero1_500.jpg

Siluetmu hadir dalam mimpi. Mencengkeram tak mau lepas, menahan langkahku untuk pergi menjauh. Kalau ini nyata, mungkin aku bahagia. Sayangnya, ini hanyalah mimpi. Dimana segala sesuatunya sering kali lebih indah daripada kenyataan yang ada. Dan siluetmu, justru menjadi belati bagiku.

Aku tersayat habis. Ketika tadinya aku hendak melemparkan belati kepadamu, justru angin memutarnya ke arahku. Aku yang tadinya hendak memusnahkan siluetmu, menjadi kalah telak. Habis.

Meski kamu tak secara lisan menahanku agar tetap di dekatmu, seluruh ragamu yang bicara. Mata, senyum, dan berbagai perilakumu terlanjur memasungku pada hatimu. Memaksaku tetap ada, meski siksa selalu aku rasa.

Ya, siksa. Bayangkan, kau memang senang berada di dekat orang yang kau puja. Tetapi, bila hadirmu tak menyatukan hati dan mata tak pernah bertaut, untuk apa? Bahkan sekadar untuk mengeja kata saja aku tak sanggup. Sudah habis daya ini, lelah karena terpasung.

Kini, harapku hanya satu. Lepaskan aku, dan biarkan siluetmu hadir dalam mimpi wanita lain. Biar mereka, yang benar akan kau pilih, yang terpasung di hatimu. Karena hadir mereka tak akan sia, pada akhirnya benar akan menyatu dengan dirimu.

Hanya lepaskan aku. Masukkan kunci, putar, dan aku tak terpasung lagi. Sulitkah? Begitu sulitkah untuk sekadar membebaskan seseorang yang tak pernah bermakna bagi dirimu? Bahkan aku, yang menganggapmu bermakna saja merasa tak akan kesulitan untuk pergi darimu, sepanjang kau telah melepasku dari pasungmu.

Kalau aku tak penting bagi hidupmu, mengapa tetap menahan hatiku untuk diserahkan pada hatimu?


Kita adalah garis-garis yang sejajar. 
Selamanya tak akan memiliki titik temu.

Sabtu, 12 Januari 2013

Nebula dalam Penjara




Malam ini aku menarikan jari di atas keypad telepon genggam milikku. Serius, sibuk merangkai kata untuk akhirnya aku kirimkan kepadamu. Meski dari awal aku sudah yakin, semua akan berakhir sama. Menjadi tumpukan pesan yang tidak akan pernah terbaca olehmu.

Ketik satu kalimat, hapus. Ketik dua kalimat, hapus, Ketik tiga kalimat, hapus.

Ketik dua kata, dan aku termangu menatap layar. Menyuarakan dalam hati kata yang telah aku ketikkan. Penuh keraguan.
      Aku merindukanmu.

Sejenak hendak kuabaikan rasa ragu yang membelenggu. Tapi, kekuatannya mengganda, membuatku tertunduk dan kehabisan nyali untuk mengalahkannya. Lagi, untuk kesekian kalinya keraguan berhasil menang. Mengalahkanku dengan telak.
Terhapus sudah. Berganti dengan kalimat;
     Apa kabar? Lama kita tak berbincang.
yang ku akhiri dengan tanda titik dua kurung tutup. Tanda bahwa aku harusnya sedang tersenyum. Meski nyatanya aku sama sekali tidak mengukir senyum saat menuliskannya. Aku justru mati-matian menahan tanda titik dua kurung buka. Sedih karena rindu.

Kurasa, kalimat ini lebih hangat. Hangat yang bersahabat, tidak terlalu intim. Dan, diiringi tarikan nafas, aku menekan tombol kirim. Lega yang berurai air mata.

Layar telepon genggam menunjukkan halaman berisi kolom percakapan kita berdua. Ya, aku dan kamu. Seharusnya nama kita tercantum bergiliran. Aku, kamu, aku, kamu, aku, kamu, dan terus begitu. Sayang, segalanya tak seindah impian. Malam ini aku telah dibenturkan dengan kenyataan yang ada. Dipaksa melihat pedihnya nyata, seolah bola mata sengaja ditaburi bubuk cabai. Pedih, hingga mataku mulai berair.

Yang ada bukanlah percakapan antara kita. Melainkan antara aku, dan dengan aku pula. Selama ini, aku mengirim pesan yang faktanya tak pernah kamu baca. Pesanku menjadi nebula, kabut semata. Aku seolah mengisi buku harian, bercerita kepada diriku sendiri. Berbicara pada kosong.

      Apa kabar? :)
     Halo, bagaimana kabarmu? :D
     Sedang sibuk apa? :D
     Haiiiii! ;)

Dan seterusnya, hanya berisi kalimat-kalimat serupa. Kalimat yang semuanya bertuan aku. Kalimat yang tak sekalipun pernah terjawab, Hanya aku yang selalu melihat, bukan kamu yang seharusnya menjadi tujuan.
Beberapa orang mengalami hal yang sama seperti aku.

Beberapa dengan alasan ketidak beranian. Kalimat-kalimat menumpuk menjadi pesan yang bersatu di dalam kotak berjudul draft.

Beberapa dengan alsan yang tidak jelas. Kalimat-kalimat menumpuk menjadi pesan yang bersatu di dalam sebaris kotak masuk tujuan. Tidak terbalas, karena memang tak pernah terbaca. Entah apa asal muasal.

Dan ketika semua tinggal samar, hanya doa yang mampu kupilin dan kalimat yang tanya yang selalu kuantarkan melalui bunga tidur. Semoga, ada jawab suatu hari nanti. Entah lewat apa kau mengirimnya.

Pesan, teman, atau Tuhan.




Kita mengudara pada frekuensi yang berbeda. Dan garis frekuensi yang sejajar, tidak akan pernah membawa kita pada satu titik temu.