Petrichor mengiringi perjalanan saya menuju sebuah tempat tersibuk di kota. Kaca jendela mobil sengaja saya turunkan hingga setengahnya supaya kelegaan dan ketenangan segera mengisi pundi-pundi perasaan. Bulir air yang tersisa dari turunnya hujan sore ini juga sengaja saya biarkan menggantung di permukaan cermin. Dulu, kata orang yang acap singgah di dalam mimpi pun hati, kedua hal yang saya lakukan ini adalah setting terbaik untuk melamun.
Tidak, bukan saya yang mengemudikan kendaraan. Jadi hendak melamun sampai hari berganti pun tidak akan jadi masalah besar. Malang, kendaraan sudah sampai di depan seorang eksekutif muda dengan trolleynya. Pertanda saya sudah bersinggungan dengan kesibukan di tempat tersibuk kota ini.
Saya bergegas turun, mengambil trolley tak bertuan di tengah lalu lalang orang dan mendorongnya ke depan pintu bagasi. Bapak berusia kepala empat yang mengantar saya meletakkan ransel warna kelabu di atasnya sebelum akhirnya membungkuk hormat. Saya tertawa ringan, menyalaminya sembari menyelipkan Otto Iskandar Dinata. Dari dalam mobil ia melambaikan tangan, bersamaan dengan langkah saya menuju terminal keberangkatan.
Seharusnya masih ada waktu beberapa puluh menit sebelum waktu boarding tiba, tetapi saya tak begitu yakin. Jadilah saya mendekati LCD yang menunjukkan jadwal keberangkatan dan kedatangan pesawat di depan counter check in, memastikan berapa menit waktu bebas yang masih saya punya. Dan ternyata, masih ada sekitar 40 menit untuk sekadar mencuci mata dan mulut di lounge terdekat.
Trolley saya simpan di belakang banner sebuah maskapai penerbangan domestik yang cukup ternama. Kemudian menggendong ransel di satu pundak, dan masuk ke dalam lounge yang sunyi menyenyakkan.
Seorang waitress bertanya dimana saya hendak duduk dan dengan apa saya akan menghabiskan waktu. Saya menunjuk sebuah kursi yang langsung berhadapan dengan pantry, dimana ada seorang coffee maker beraksi di dalamnya. Waitress tadi tersenyum tipis, mengangguk dan mempersilakan saya untuk lebih dahulu berjalan ke sana.
Menit berikutnya saya habiskan dengan membolak-balik buku menu. Bingung karena terlalu banyak jenis makanan dan beverage yang tersedia. Saya putuskan untuk memesan segelas circus coffee, nama yang unik untuk mengundang rasa ingin tahu tentang bagaimana si coffee maker meramunya.
Sembari menunggu, saya mengeluarkan gadget - tablet dan seperangkat mp3 player - dari dalam ransel, kemudian mulai mengamati bagaimana si coffee maker beraksi. Ia tampak sudah terampil memainkan sendok dan botol-botol berisi aneka macam cairan. Tidak ada denting, ia penuh dengan ketenangan dan kemantapan - sebuah kunci untuk segelas kenikmatan.
Dan akhirnya circus coffee saya tiba dengan sedikit kepul uap di atasnya. Saya hendak mengambil foto akan kopi yang amat metroseksual ini, ketika tetiba saya mendengar bisik halus seseorang.
"Saya mau yang seperti itu, apa namanya? Satu porsi. Di cup saja kalau bisa," bisiknya pada seorang waitress. Sayang, selembut apapun ia berbisik, dia tidak tahu kalau saya tetap bisa mendengarnya di tempat yang sehening ini.
"Circus coffee," terang saya dari tempat duduk. "A cup of circus coffee, please," ulang saya kepada si waitress.
Setelah ia mengangguk pergi, baru saya perhatikan ia yang berbisik tadi. Dia seorang pramugari, ternyata. Parasnya ayu, selayaknya pramugari tentu saja. Pipinya tirus dengan dekik kecil di sisi kanan, sedangkan bibirnya melengkung sabit. Rambutnya tepat seketiak, terurai indah menunjukkan ikalnya yang menggantung manja di ujung-ujung rambut. Kakinya jenjang dibungkus kulit yang kuning langsat sedikit terbakar, mungkin dia sering sunbathing di sela cutinya.
"Enak tidak?" tanyanya.
"Sangat. Saya memperhatikan bagaimana si coffee maker beraksi ketika kopi ini dibuat. Dan dia tampak sangat lihai, tidak pantas untuk diragukan."
Saya tahu persis dia balik memperhatikan saya ketika pertanyaannya terjawab tadi. Saya jadi ingin menjebak manik matanya, biar dia tersipu. Dan ketika saya mencoba, justru saya yang jadi tersipu. Sebab dia tetap dalam ketenangannya terus saja memandangi saya.
Saya menghabiskan kopi supaya tidak terjadi kecanggungan. Kemudian, tepat ketika waitress datang mengantarkan kopi pramugari ini, saya sekaligus meminta bill dan menitipkan selembar seratus ribu kepadanya. Si pramugari tahu saya sedang bersiap untuk bergegas, dan tampaknya ia memutuskan untuk pergi lebih dulu dengan membawa serta kopinya. Saya pandangi punggungnya, dirinya yang mulai menjauh dari sapu pandangan, sampai habis benar bayang dirinya. Sampai si waitress datang, memberikan bill dan mengembalikan sisa uang saya.
----